
SELAMATKAN NEGERI DENGAN MENDIDIK GENERASI
Oleh : Ummu Ahya
“Assalamu’alaikum. Bu, mohon dibuka WA saya. Mudah-mudahan setelah melihat WA tersebut ada langkah antisipatif dari Ibu untuk anak-anak.”
Ini adalah kutipan pesan WA disertai beberapa gambar yang sempat membuat mulut langsung ternganga.
Shocked?
Eh, tidak terlalu. Dan tidak terlalunya bukan karena apatis dan menganggapnya sepele. Tapi lebih menyikapinya, “Inilah kondisi hari ini.” Rotasi waktu sangat cepat, setahun lebih pandemi Covid mencengkram dan mengurung anak-anak dalam model pembelajaran jarak jauh. Bukan cuma anak, tapi orang tua dan guru tentu punya cerita yang sama, jenuh, lelah, uring-uringan, bahkan ada yang sempat mengalami mental breakdown. Akhirnya ketika ada satu, dua, tiga, atau mungkin lebih banyak lagi anak-anak yang mengakses gambar-gambar atau tontonan yang sudah melewati batas usianya tidak bisa langsung di-just sebagai anak yang terlalu gaul, kebablasan, lost control, atau yang lainnya. Keadaanlah yang membuatnya demikian.
Sejak awal pemberlakuan pembelajaran jarak jauh banyak pihak yang cukup skeptis dan paranoid dengan dampak yang akan dimunculkan. Pembelajaran yang hanya terhubung melalui jaringan virtual ini tidak melibatkan kontak fisik dan emosional secara langsung, bahkan dengan basis teknologi bisa jadi siswa tidak sekedar menggunakan gadget sebagai sarana belajar, tapi justru ada belok-beloknya. Mereka berselancar ke saluran maya lainnya, menemukan teman tanpa lintas dan batas, terprovokasi ikut obrolan-obrolan yang kurang baik, terjebak dengan tontonan tidak seharusnya ditonton, juga makin terpesona dengan IDOL-IDOL yang sama sekali tidak memberikan keteladanan baik dalam nilai maupun keteladanan. Inilah kekhawatiran itu, terjadi penurunan adab dan akhlak anak.
Terlambatkah?
ÙˆÙŽØ£ÙŽØÙ’سÙÙ†Ùوا Û› Ø¥Ùنَّ اللَّهَ ÙŠÙØÙØ¨Ù‘Ù Ø§Ù„Ù’Ù…ÙØÙ’Ø³ÙÙ†Ùينَ
“…dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik. [Al-Baqarah:195]
Satu diantara sekian banyak ayat-ayat senada rasanya cukuplah menjadi pengingat dan penyemangat untuk tetap semangat melakukan kebaikan, artinya tidak ada kata terlambat untuk mengembalikan anak-anak kita yang bisa jadi telah mengalami penurunan akhlak dan adab. Banyak hal yang masih bisa dikerjakan, tetap optimis sebagaimana sabda Nabi, "Betapa optimisme membuatku takjub, dan optimisme itu adalah kata yang baik" (HR. Muslim).
Jadi tidak kata terlambat. Dan banyak hal yang mulai bisa dilakukan. Diantara yang banyak itu adalah mengajak anak berdialog alias ngobrol. Dalam Al Qur’an sendiri ada 17 dialog pendidikan yang tersebar dalam gugusan ayat baik antara bapak dan anak, ibu dan anak, serta guru dan murid. Ini menunjukan bahwa dialog adalah salah satu media efektif untuk bisa mengetahui banyak hal dari anak-anak kita. Menjadi teman cerita dan masuk dalam dunianya hari ini akan lebih mencairkan dan mengurai masalah yang ada.
Hal lainnya, memberikan kepercayaan dan tanggung jawab. Biarkan sekali waktu anak memutuskan sesuatu untuk dirinya sendiri, memberikan dua hal ini menjadi modal besar agar lebih survive di hari sesudahnya, tentunya keputusan yang harus tetap dikontrol.
Membatasi penggunaan gadget untuk hari ini. Sulitkah? Sangat sulit jika sebelumnya sudah terlalu lost control tapi kembali ditegaskan tidak ada kata terlambat. Dan bukan melarang, tetapi hanya membatasi. Berilah waktu dan kesempatan kapan harus memegang gadget, kapan harus belajar, dan kapan harus berinteraksi dengan keluarga dan teman-temanya, juga kapan harus meletakkan urusan dunianya. Apa yang boleh dan apa yang tidak boleh dilihat, dan seterusnya.
Terakhir tapi bukan yang terakhir justru paling penting dari yang sebelumnya. Mengajarkan tentang agama dan semua turunannya seperti aqidah, ibadah, adab, sirah, dan lainnya. Inilah hal yang paling mendasar dalam mendidik anak. Dengan iman/aqidah yang mengakar kuat, maka aspek berikutnya seperti akhlak, dan aspek-aspek keberagamaan lainnya akan mengikuti. Dan tentu saja yang tidak boleh putus adalah berdoa kepada Allah,
Ù‡ÙنَالÙÙƒÙŽ دَعَا زَكَرÙيَّا رَبَّهٗ Ûš قَالَ رَبّ٠هَبْ Ù„Ùيْ Ù…Ùنْ لَّدÙنْكَ Ø°ÙØ±Ù‘Ùيَّةً Ø·ÙŽÙŠÙ‘ÙØ¨ÙŽØ©Ù‹ Ûš اÙنَّكَ سَمÙÙŠÙ’Ø¹Ù Ø§Ù„Ø¯Ù‘ÙØ¹ÙŽØ§Û¤Ø¡Ù
Di sanalah Zakaria berdoa kepada Tuhannya. Dia berkata, “Ya Tuhanku, berilah aku keturunan yang baik dari sisi-Mu, sesungguhnya Engkau Maha Mendengar doa.”
وَقَالَ Ø¥ÙنّÙÙŠ Ø°ÙŽØ§Ù‡ÙØ¨ÙŒ Ø¥ÙÙ„ÙŽÙ‰ رَبّÙÙŠ سَيَهْدÙين٠(99) رَبّ٠هَبْ Ù„ÙÙŠ Ù…ÙÙ†ÙŽ Ø§Ù„ØµÙ‘ÙŽØ§Ù„ÙØÙينَ (100)
“Dan Ibrahim berkata, "Sesungguhnya aku pergi menghadap kepada Tuhanku, dan Dia akan memberi petunjuk kepadaku. Ya Tuhanku, anugerahkanlah kepadaku (seorang anak) yang termasuk orang-orang yang saleh.” (Ash Shaffat:100)
Itulah doa manusia-manusia mulia yang namanya banyak tertulis dalam lembar-lembar kitabullah, kapan kita akan kembali peduli dengan mereka, anak-anak kita juga anak-anak ideologis kita?
