Artikel


DI LEVEL MANA KITA MENDIDIK?

Ole : Ummu Ahya

“Gimana sih! Diajarin nggak bisa-bisa!”
Ucapan ini mungkin pernah tertujukan saat kita masih usia anak-anak dan menjadi seorang murid. Atau mungkin hari ini saat menjadi orang tua atau guru justru pernah terlontar dari mulut kita kalimat tersebut.
Penyebabnya apa?
Tak lain karena kelambatan si anak menyerap pelajaran atau ketidak mampuannya menangkap pesan verbal yang disampaikan. Padahal jika dirunut, penyebab kelambatan dan ketidakmampuan itu tentunya banyak variable yang memengaruhinya. Bisa jadi belum siapnya anak belajar, beban psikologis , kemampuan afektif dan psikomotoriknya yang mungkin justru lebih dominan dari kognitifnya, atau jangan-jangan justru dari orang tua atau guru itu sendiri. Kemampuan bahasa orang tua dan guru belum berterima, ekspektasinya terlalu tinggi, emosi yang tidak stabil, atau yang lainnya.
Akhirnya tidak pas juga, langsung melabeli anak dengan stempel “ANAK YANG NGGAK PAHAM-PAHAM”. Atau lebih ektrem lagi diberikan stempel bodoh, lemot, dan segala sumpah serapah yang keluar demi menghakimi si anak gara-gara belum bisa memenuhi dan memahami maksud dan maunya kita, orang-orang dewasa.
Saat ada dalam kondisi ini, sebagai orang tua atau guru, baik jika sedikit mengendorkan urat saraf, mengurai emosi yang meluap, menurunkan ekspektasi yang mungkin agak tinggi, dan mengingat bagaimana para pendidik di masa kemarin yang jauh mupun yang dekat telah mendidik anak dan muridnya. Mereka mendidik dengan cinta, meluapkan emosi dan kemarahannya dengan doa, dan mengembalikan semua bebannya hanya kepada Dzat yang membolak-balikan hatinya.
Kesabaran Imam Syafi’I mengajar Ar Rabi’ bin Sulaiman tidak memupuskan harapannya meski harus mengulang hingga 39 kali, dan tidak ada sepatah kata pun yang mengerdilkan anak muridnya. Hingga akhirnya dia menyerahkan urusannya pada Allah, mendoakan dan meminta si anak juga terus berdoa. Dan hasilnya, Ar Rabi’ bin Sulaiman menjadi ulama besar dan perawi hadist. Ini menjadi jawaban bahwa yang bisa memahamkan anak bukanlah orang tua ataupun guru tapi hanya Dialah Dzat yang menyeru dalam ayatnya,
فَتَعٰلَى اللّٰهُ الْمَلِكُ الْحَقُّۚ وَلَا تَعْجَلْ بِالْقُرْاٰنِ مِنْ قَبْلِ اَنْ يُّقْضٰٓى اِلَيْكَ وَحْيُهٗ ۖوَقُلْ رَّبِّ زِدْنِيْ عِلْمًا
“Maka Mahatinggi Allah, Raja yang sebenar-benarnya. Dan janganlah engkau (Muhammad) tergesa-gesa (membaca) Al-Qur'an sebelum selesai diwahyukan kepadamu, dan katakanlah, “Ya Tuhanku, tambahkanlah ilmu kepadaku.” (Thaaha:114)
Lalu bagaimana dengan gaya pendidik model Syaikh Ahmad Al Kurani? Bukankah ketegasan dan pukulannya justru yang menjadi wasilah lahirnya Muhammad Al Fatih, penakluk konstantinopel?
Inilah ketegasan itu, “Ayahmu memintaku datang untuk mengajarimu. Jika engkau tidak menurut, maka aku akan memukulmu.”
Ucapan sang guru sempat dipikir sebagai shock terapy, tapi nyatanya Al Fatih kecil benar -benar dipukul dengan keras dan seketika membuatnya jera. Pukulan yang diberikan bukanlah pukulan kemarahan atau emosi sesaat yang melahirkan ketakutan, sikap traumatik, hingga dendam. Justru berawal dari pukulan itulah chemistry keduanya lahir, penghormatan Al Fatih begitu tinggi kepada sang guru, kedekatan emosionalnya benar-benar terbangun hingga akhir hayat sang guru. Masyaa Allah, keberkahan untuk keduanya.
Dua pengajaran ini tentu bukan sebuah antitesis yang saling membandingkan antara kasar dan lembut atau boleh memukul atau tidak, Pukulan Syaikh Al Kurani adalah pukulan seorang pendidik yang benar-benar terdidik di bawah bimbingan Rabb-nya, bukan pukulan karena luapan kemarahan, tapi pukulan atas amanah pendidikan sebagai seorang ulama, teladan, dan guru bagi muridnya. Jadi, beda jauh antara tegas dan kasar. Tegas akan melahirkan sikap yang bertanggung jawab, berani menentukan benar dan salah, dan menjadikan segala sesuatu menjadi jelas. Sementara kasar, hanya melahirkan sikap destruktif, pesimistik, dan tentu saja akan mewarisi kekasaran.
Lalu bagaimana saat hati dan emosi benar-benar terkuras oleh polah tingkah anak atau murid kita?
Siapa yang tidak kenal Syaikh Abdurrahman As Sudais, Imam Masjidil Haram yang suaranya menggema ke seluruh penjuru dunia?
Semua tentu mengenal, kalaupun tidak mengenal sosok secara fisik tapi cukuplah suara dan sosok nilai yang ditampilkan menjadi penghubung bahwa kita mengenalnya. Sudais kecil sama seperti anak kecil pada umumnya, adakalanya menguras emosi dan kemarahan orang tuanya. Kisah yang rasanya sangat masyhur, ketika suatu hari orang tuanya kedatangan tamu dan sudah menyiapkan hidangan kambing dan siap disantap sang tamu, tiba-tiba Sudais kecil berulah dengan menaburi sajian kambing dengan pasir.
Marah?
Tentu saja sang ibu marah dengan kelakuan anaknya? Tapi sumpah serapah apa yang keluar dari mulutnya, "Pergilah, semoga Allah menjadikanmu Imam Masjidil Haram," demikian luapan kemarahan sang ibu.
Kepingan doa di sela-sela kemarahan itu ternyata mustajab. Bahkan mungkin sang ibu tidak pernah berpikir anaknya akan menjadi seperti hari ini, tapi itulah ucapan yang keluar dari pendidik utamanya, sang ibu, dan apa yang keluar dari lisan seorang muslim, akan menjadi doa. Rasulullah bersabda, "Tiga doa yang mustajab yang tidak diragukan lagi (kemakbulannya), yaitu doa orang tua, doa orang yang bepergian (safar), dan doa orang yang dizalimi." (HR Abu Daud).
Terakhir, tapi bukan yang paling akhir, pesan ulama negeri ini, seorang pendidik yang Allah wafatkan di tanah Haram, KH. Maemun Zubair rasanya sangat perlu untuk selalu direnungkan dan diingat bagi orang tua khususnya para guru yang diberikan amanah mendidik,
“Yang paling hebat bagi seorang guru adalah mendidik. Dan rekreasi paling indah adalah mengajar. Ketika melihat murid yang menjengkelkan dan melelahkan, terkadang hati teruji kesabarannya. Namun hadirkanlah gambaran bahwa satu di antara dari mereka kelak akan menarik tangan kita ke surga.”
Nasihat yang luar biasa dari pendidik masa ini. Seolah menjadi atmosfer tersendiri saat hati mulai teruji dengan lika-liku menjadi orang tua juga pendidik. Nasihat ini langsung menjadi tamparan pertama saat mulai mucul keinginan untuk berkeluh kesah, karena memang tidak ada anak yang tidak bisa apalagi bodoh. Yang ada hanya anak-anak yang belum tersentuh dan belum keluar kemampuan mereka sebenarnya, disinilah tugas orang tua juga pendidik untuk memberikan stimulan agar sirkuit otaknya terpacu menerima rangsangan-rangsangan itu. Dan di atas itu adalah kekuatan doa kepada Yang Maha menambahkan pemahaman.
Lalu kemana Nabi dan Rasul? Kenapa tidak disebut?
Tanpa disebut, semua sudah mengetahui bagaimana para nabi dan rasul mendidik keluarga dan umatnya. Pendidikan para nabi dan rasul adalah pendidikan yang paling utama baik dari sisi nilai maupun keteladannya, sementara pendidikan generasi sesudahnya lebih untuk memberikan penguatan dan mengorelasikan dengan peristiwa-peristiwa sesudahnya. Wallahu wa’lam bish shawab



Kalender


Mei 2025

Mg Sn Sl Rb Km Jm Sb
1 2 3
4 5 6 7 8 9 10
11 12 13 14 15 16 17
18 19 20 21 22 23 24
25 26 27 28 29 30 31

Kalender Akademik